Indonesia
memiliki berjuta kebudayaan yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Mulai dari
sabang sampai merauke, Indonesia memounyai kebudayaan yang berbeda dengan
negara lain dan mempunyai kekhasannya tersendiri pada setiap daerahnya salah
satunya ada Cirebon. Cirebon yang dijuluki Kota Udang dan Kota Wali ternyata
kota yang berada di timur Jawa Barat ini memiliki beberapa budaya kesenian
daerah yang mendunia.
Pada awalnya kesenian musik tarling yang tumbuh sejak tahun 1930-an
diwilayah kultural Indramayu dan Cirebon merupakan migrasi bunyi dari gamelan
ke gitar dan suling. Boleh jadi sekarang ini terjadinya migrasi yakni, migrasi
bunyi dari gitar suling ke organ tunggal. Sebuah penanda betapa kesenian musik
tarling memiliki ekpresi lugas, bebas, bahkan liar.
Kesenian musik tarling seakan-akan
menjadi katarsis bagi kehidupan masyarakat petani dan nelayan dalam
mengekspresikan kepedihan ataupun kegembiraan. Melalui petikan gitar, alunan
suling, tembang klask, tembang pop, dan drama, ploblematika kehidupan tertumpah
di panggung. Jurang sosial antara buruh tani dan majikan antara bidak dan
jurugan nelayan melebur dan luluh dalam apresiasi kebersamaan.
Sebagai teater tradisional, kesenian
musik tarling menempatkan penonton tanpa jarak. Kesenian musik Tarling acap
kali melibatkan penonton dalam pertunjukan drama secara spontan, seperti halnya
seni lenong di Jakarta atau ludruk di Jawa Timur. Suatu adonan dramaturgi yang
mampu menarik para penonton. Sebuah kekuatan yang tiba-tiba mengedepankan
tarling bukan hanya sebagai tontonan, tetapi lebih dari itu untuk melakukan
kontemplasi, introspeksi, dan ekspresi kemajinalannya.
Pada era sekarang, orang di luar
Cirebon dan Indramayu menyangka tarling hanyalah deretan tembang-tembang
dangdut berbahasa Cirebon Indramayu. Lagu-lagu tersebut justru makin dikenal di
tatar nasional. Setelah lagu warung pojok yang diciptakan oleh Abdul Adjib pada
tahun 1967, dari tahun 1990-an hingga sekarang publik nasional mengenal
lagu-lagu semacam Pemuda Idaman yang diciptakan oleh Sadi.M, Mabok bae yang
diciptakan oleh E.Thorikin dan lagu Kucing garong.
Sebagai bentuk seni kerakyatan,
kesenian musik tarling tumbuh dan berkembang tanpa pakem atau ketentuan baku
lain. Generasi Mang Sugra di Indramayu pada tahun 1930-an bereksperimen
memindahkan bunyi dawai gitar Eropa menjadi nada-nada pentatonis gamelan Indramayu
dan Cirebon. Ditingkahi seruling bambu dan tembang gamelan, seperti Dermayonan,
Bendrogan, atau Cirebon Pegot, bunyi tersebut melahirkan kesenian gitar-suling
Berbeda dengan seni yang tumbuh daei
keraton yang memiliki pakem dan nilai-nilai kesaklralan, seni tarling
berkembang dengan dinamika yang kugas, bebas, bahkan liar. Perubahan demi
perubahan sangat tampak, misalnya dalam wujud lagu. Jika pada nada dan tempo
makin dinamis, begitu pula pada syair-syairnya. Perkembangan sosial, budaya,
dan geragap kehidupan lainnya pada masyarakat tampaknya berpengaruh pada
syair-syair yang cenderung mudah dicerna. Sejak tahun 1960-an tarling menanjak
pada lagu-lagu yang agak ngepop, tetapi tetap bertumpu pada nada dasar klasik
daerahnya, cenderung menyuarakan problematika sosial, cinta yang agung, dan
nasib wong cilik dengan bahasa yang puitis. Sejak tahun 1980 hinggan 1990-an
yang menyuarakan tema-tema tersebut dengan lugas, blak-blakan, dan bombastis.
Bisa jadi kini organ tunggal dianggap sebagai metamorfosis seni tarling dengan
menyisakan ciri bahasa daerah pada lagu-lagunya, yang kerap dianggap sebagai
lagu tarling dangdut. Karakter mengikuti trend tampaknya tetap berlangsung.
Sastra Cirebon dan Indramayu masa
lama hingga masa sekarang, semisal jawoka, panyandra, dan paribasa, mungkin
dianggap kurang dinamis. Syair lagu lebih banyak bernuansa wangsalan dan
parikan, yanf lebih memasyarakat. Dunamika juga terjadi pada tema dan judul
lagu yang mudah mengikuti jamannya. Entah karena kerasnya kehidupan sosial,
gonjang-ganjing politik, degradasi budaya, atau seperti diungkap pujangga dan
Raja Kediri Jayabaya (1135-1157).
0 komentar:
Posting Komentar